Selasa, 7 Mei 2013

Keutamaan Amalan Hati Ke Atas Amalan Badan




Keutamaan Amalan Hati Ke Atas Amalan Badan
(Fiqh al-Awlawiyyat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi)


DI ANTARA amalan yang sangat dianjurkan  menurut  pertimbangan agama  ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia. Ia lebih diutamakan daripada amalan  lahiriah  yang  dilakukan oleh anggota badan, dengan beberapa alasan:

Pertama:  Karena  sesungguhnya  amalan yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh Allah  SWT  selama  tidak  disertai  dengan amalan  batin  yang  merupakan  dasar  bagi diterimanya amalan lahiriah itu, yaitu niat;  sebagaimana  disabdakan  oleh  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

"Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat." [32]

Arti niat ini ialah niat yang terlepas  dari  cinta  diri  dan dunia.  Niat  yang  murni  untuk  Allah  SWT.  Dia  tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni  untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus..."   (al-Bayyinah: 5)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

"Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya."  [33]

Dalam sebuah hadith qudsi diriwayatkan, Allah SWT berfirman,

"Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan kemudian dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya."

Dalam riwayat yang lain disebutkan:

"Maka dia akan menjadi milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya." [34]

Kedua:  Karena  hati  merupakan  hakikat  manusia,   sekaligus menjadi  poros kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati."  [35]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwasanya hati  merupakan  titik  pusat pandangan  Allah,  dan  perbuatan  yang dilakukan oleh hatilah yang  diakui  (dihargai/dinilai)  oleh-Nya.  Karenanya, Allah hanya  melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya  (niatnya  tidak benar),  maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh baginda,

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu."  [36]

Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya amalan tersebut.

Al-Qur'an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak,  dan perolehan surga di sana, hanya dapat  dicapai  oleh  orang yang   hatinya   bersih   dari  kemusyrikan,  kemunafikan  dan penyakit-penyakit hati yang menghancurkan.  Yaitu  orang  yang hanya  menggantungkan  diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.

"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih."   (as-Syu'ara': 87-89)

"Dan didekatlah surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihata (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat."   (Qaf: 31-33)

Keselamatan  dari  kehinaan  pada  hari  kiamat  kelak   hanya diberikan  kepada  orang  yang  datang kepada Allah SWT dengan hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang  yang datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.

Taqwa  kepada  Allah - yang merupakan wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian, merupakan dasar perbuatan yang utama, kebajikan, kebaikan di dunia dan akhirat - pada hakikat dan intinya merupakan persoalan hati. Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; "Taqwa itu ada di sini," sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. Beliau mengatakannya  sebanyak  tiga  kali sambil  memberikan  isyarat  dengan  tangannya ke dadanya agar dapat dipahami oleh akal dan jiwa manusia.

Sehubungan dengan hal ini,  al-Qur'an  memberi  isyarat  bahwa ketaqwaan itu dilakukan oleh hati manusia:

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati."   (al-Hajj: 32)

Semua tingkah laku dan perbuatan yang mulia,  serta  tingkatan amalan  rabbaniyah  yang menjadi perhatian para ahli suluk dan tasawuf, serta para penganjur pendidikan  ruhaniah,  merupakan perkara-perkara  yang  berkaitan dengan hati; seperti menjauhi dunia, memberi perhatian yang lebih kepada akhirat, keikhlasan kepada  Allah,  kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal kepada   Allah,   mengharapkan   rahmat-Nya,   takut    kepada siksaan-Nya,  mensyukuri  nikmatNya,  bersabar  atas  bencana, redha terhadap ketentuan-Nya, selalu mengingat-Nya,  mengawasi diri sendiri dan lain-lain. Perkara-perkara ini merupakan inti dan ruh agama, sehingga barangsiapa yang  tidak  memiliki perhatian   sama  sekali  terhadapnya  maka  dia  akan  merugi sendiri, dan juga rugi dari segi agamanya.

Siapa  yang  mensia-siakan  umurnya,  maka  dia   tidak   akan mendapatkan apa-apa

Anas meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

"Tiga hal yang bila siapapun berada di dalamnya, maka dia dapat menemukan manisnya rasa iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; hendaknya ia mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka."  [37]
  
"Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada ibubapa dan anaknya, serta manusia seluruhnya."  [38]

Diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang lelaki yang  bertanya kepada  Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam, "Kapankah kiamat terjadi wahai Rasulullah?" Beliau balik bertanya: "Apakah yang telah engkau  persiapkan?" Dia  menjawab,  "Aku  tidak  mempersiapkan  banyak  shalat dan puasa,  serta  shadaqah,  tetapi  aku  mencintai   Allah   dan Rasul-Nya."  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  kemudian  bersabda, "Engkau akan bersama orang yang engkau cintai."  [39]

Hadith ini dikuatkan oleh hadith Abu Musa:

Bahwa ada  seseorang berkata  kepada  Nabi  shallallahu ‘alaihi wasallam, "Ada seseorang yang mencintai kaum Muslimin,  tetapi  dia  tidak  termasuk  mereka." Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,  "Seseorang  akan  bersama  dengan  orang  yang  dia cintai."  [40]

Hadith-hadith tersebut menunjukkan bahwa  cinta  kepada  Allah SWT  dan  Rasulullah,  serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah SWT; walaupun tidak disertai dengan tambahan shalat, puasa dan shadaqah.

Hal ini tidak lain adalah karena cinta  yang  murni  merupakan salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT.

Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata,

"Aku cinta kepada orang-orang shaleh walaupun aku tidak termasuk golongan mereka.
  
Aku berharap bahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu, dan kebaikan) dari mereka.
  
Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu."

Cinta kepada Allah, benci karena Allah  merupakan  salah  satu bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.

Dalam sebuah hadith disebutkan,

"Barangsiapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka dia termasuk orang yang sempurna imannya."  [41]

"Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala' karena Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah SWT."  [42]

Oleh sebab itu, kami sangat heran  terhadap  konsentrasi  yang diberikan  oleh  sebagian  pemeluk  agama, khususnya para daie' yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang  berkaitan dengan   perkara-perkara   lahiriah   lebih   banyak  daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak   daripada   intinya;   misalnya  memendekkan  pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab  wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara  lain  yang  berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan  ruhnya.  Perkara-perkara  ini,  bagaimanapun,  tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.

Saya  sendiri memperhatikan - dengan amat menyayangkan - bahwa banyak  sekali orang-orang  yang  menekankan  kepada   bentuk lahiriah  ini  dan  hal-hal yang serupa dengannya - Saya tidak berkata  mereka  semuanya -  mereka  begitu  mementingkan  hal tersebut  dan  melupakan  hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya.  Seperti  berbuat  baik  kepada kedua  ibubapa,  silaturrahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan  hak  kepada orang  yang  harus  memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah SWT, apalagi terhadap  yang  lemah,  menjauhi  hal-hal  yang jelas  diharamkan dan  lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam  kitab-Nya; di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.

Saya tertarik dengan perkataan  yang  diucapkan  oleh  saudara kita,  seorang daie' Muslim, Dr. Hassan Hathout yang tinggal di Amerika, yang sangat tidak suka kepada sebagian  saudara  kita yang  begitu  ketat dan kaku dalam menerapkan hukum Islam yang berkaitan dengan daging halal yang  telah  disembelih  menurut aturan  syariat.  Mereka  begitu  ketat meneliti daging-daging tersebut  apakah  ada  kemungkinan   bahwa   daging   tersebut tercampur dengan   daging   atau   lemak   babi,   walaupun
kemungkinan itu hanya benar 1% sahaja tetapi  dalam masa yang sama masa yang sama dia tidak memperhatikan bahwa dia memakan bangkai saudaranya setiap hari beberapa  kali  (dengan fitnah   dan   mengumpat/ghibah),  sehingga  saudaranya  dapat menjadi sasaran syubhat dan tuduhan,  atau  dia  sendiri  yang menciptakan tuduhan-tuduhan tersebut.

Allahu a’lam..


Catatan kaki:

32- Muttafaq 'Alaih dari Umar (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1245), hadith pertama yang dimuat dalam Shahih al-Bukhari
  
33- Diriwayatkan oleh Nasai dari Abu Umamah, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (1856)
  
34- Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafaz hadith yang pertama, sedangkan lafaz yang lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah.
  
35- Muttafaq 'Alaih, dari Nu'man bin Basyir, yang merupakan bagian daripada hadith, "Yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas" (Lihat al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1028)
  
36- Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)
  
37- Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu'wa al-Marjan, 26)

38- Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 27)

39- Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1693)

40- Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al- Marjan, 1694)
  
41- Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Sunnah dari Abu Umamah (4681), dan dalam al-Jami' as-Shaghir riwayat ini dinisbatkan kepada Dhiya' (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 5965)
  
42- Diriwayatkan oleh al-Thayalisi, Hakim, dan Thabrani dalam al-Kabir, dan al-Awsath dari Ibn Mas'ud, Ahmad, dan Ibn Abi Syaibah dari Barra" dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Abbas (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 2539)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

anda boleh komen atau memberi pendapat atau idea tentang blog ini.apa2 cadangan dari anda kami hargai